Kantor

Jl. SA. Tirtayasa No.02 (Gedung Islamic Centre Lantai 2) Kelurahan Jombang Masjid Kota Cilegon

Tasawuf dalam Tiga Kata: Safa, Wafa, Jafa

Ketika menjelaskan kandungan makna basmalah, Syeikh Ihsan Jampes mengutip pendapat para sufi yaitu Allāh untuk ahl al-Șafā (Allah li Ahl Șafā), al-Raḥmān untuk ahl al-Wafā (al-Rahman li ahl al-Wafā), al-Raḥīm untuk ahl al-Jafā (al-Raḥīm li ahl al-Jafā). Pendapat ini juga terdapat dalam beberapa karya sufi yang lain di antaranya: Karya Syeikh Abu Bakr ibn al-Sayyid Muhammad Shata al-Dimyati yakni (كفاية الأتقياء ومنهاج الأصفياء شرح هداية الأذكياء إلى طريق الأولياء), karya al-Shaykh Shihab al-Din Ahmad bin Hijazi (تحفة الاخوان في قراءة الميعاد في رجب وشعبان ورمضان)

Syeikh Ihsan Jampes, Syeikh Abu Bakr al-Dimyati dan Syeikh Ahmad bin Hijazi tidak memberikan penjelasan siapakah yang dimaksud dengan ahl al-Șafā, ahl al-Wafā dan ahl al-Jafā? Saya mencoba untuk memberi syarah atas syarah Syeikh Ihsan terhadap karya Imam al-Ghazali. Syarah terhadap syarah dikenal dengan istilah hasyiyah atau catatan pinggir.

 

Ahl Al-Șafā

Șafā secara etimologis mempunyai beberapa arti: suci, bersih, murni, bening, tenang. Terdapat banyak pendapat tentang asal kata tasawuf. Di antaranya pendapat yang menyatakan kata tasawuf merupakan derivasi dari șafā (صفا). Menurut Syeikh Ahmad Zarruq al-Fasi al-Maliki, tasawuf telah didefinisikan lebih dari 2 ribu macam pengertian. Perbedaan dalam mendefinisikan tasawuf itu berkaitan dengan perbedaan para sufi dalam ilmu, amal, kondisi spiritual (حال), rasa (ذوق) dan lain sebagainya yang mereka miliki.

Dari sekian banyak definisi tentang tasawuf, menurut Abu Bakar al-Kattani definisi itu tidak akan terlepas dari 2 hal yaitu penyucian dan penyaksian (صفاء ومشاهدة). Gambaran singkat tentang tasawuf yang dibuat oleh al-Kattani menggabungkan 2 unsur yaitu sarana (وسيلة) dan tujuan (غاية). Penyucian adalah sarana dan penyaksian adalah tujuan. Oleh karena itu, banyak definisi tentang tasawuf/sufi yang berkelindan dengan penyucian (صفاء/صفا).  Di antaranya, Bishr al-Harith mendefinisikan sufi sebagai orang yang menyucikan hatinya karena Allah swt (الصوفي من صفا قلبه لله). Abu ‘Ali al-Rudhabari, sufi adalah orang yang mengenakan kain wol kasar dengan hati yang suci (الصوفي من لبس الصوف على الصفا), sedangkan Abu Bakar al-Shibli menggambarkan sufi sebagai orang yang hatinya bersih dari kotoran (من صفا من الكدر).

Al-Qur’an memuji orang yang menyucikan jiwanya. QS al-Shams: 9 “sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)” (قد أفلح من زكاها) QS al-A‘la: 14 “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri” (قد أفلح من تزكى). Di antara tugas utama para nabi diutus oleh Allah adalah untuk menyucikan hati (tazkiyat al-nafs) umat.  Lihat QS al-Baqarah: 129, QS Ali Imran: 164, QS al-Jumuah: 2. Ahl al-Șafā adalah orang yang menyucikan hatinya. Menyucikan hati dari segala sesuatu selain Allah swt. Segala sesuatu selain Allah swt dikenal sebagai istilah al-aghyār (الأغيار) atau كل ما سوى الله تعالى

 

Ahl Al-Wafā

Wafā bisa berarti: memenuhi, menyimpan, memelihara, menyelesaikan, melaksanakan, menemui, berbuat sesuai dengan, membayar, membereskan, melunasi, memuaskan, menjawab, mencukupi.

Nabi Muhammad saw bersabda: Ada tiga hal yang menyebabkan orang menjadi munafiq meskipun dia salat, meskipun dia puasa dan dia mengira dirinya sebagai orang mukmin. Tiga hal itu adalah (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat. Hadis ini menegaskan bahwa orang yang tidak menepati janji adalah orang munafik.

Orang yang menepati janjinya dan bertakwa mendapatkan cinta Allah swt. QS Ali Imran: 76 (بَلَىٰ مَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ وَاتَّقَىٰ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ ) Ibn ‘Abbas, sahabat yang dikenal sebagai Tarjuman al-Qur’an dan pernah didoakan oleh Nabi Muhammad saw secara khusus menjadi faqih (orang yang mempunyai pemahaman mendalam dalam agama) dan memahami takwil al-Qur’an, menafsirkan kata “وَاتَّقَىٰ”dalam ayat di atas dengan takut jatuh pada syirik (اتقى الشرك). Maka orang yang bertakwa adalah orang menjauhi syirik (الذين يتقون الشرك)

Syirik, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an, tidak hanya berkaitan dengan menyembah berhala, minta bantuan jin, dukun tetapi juga menuruti hawa nafsu ketimbang menuruti perintah Allah swt juga termasuk syirik. QS al-Jasiyah: 23 “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya” (اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ ). Dalam tafsir-tafsir bercorak isyari, perintah memerangi orang kafir dan orang musyrik selalu dikaitkan dengan memerangi hawa nafsu. Meski sebenarnya dalam Bahasa al-Qur’an ada perbedaan antara hawa dan nafsu.

Ahl al-Wafā adalah orang yang tetap setia dengan kesaksiannya ketika Allah swt bertanya di alam roh. “Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Semua manusia menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi” QS al-A‘raf: 172. Konsekuensi dari kesetiaan terhadap kesaksian ini adalah tidak menjadikan segala sesuatu selain Allah sebagai Tuhan. Tidak memasukkan segala sesuatu selain Allah ke dalam hati. Cukup hanya Allah (حسبي ربي جل الله ما في قلبي غير الله).

 

Ahl Al-Jafā

Jafā juga mempunyai banyak arti: kering, berat, jauh, buruk, keras dsb. Dalam bahasa dikenal istilah antonym (lawan kata), sinonim (persamaan kata/muradif) dan kontranim. Kontranim adalah satu kata atau frasa yang mempunyai 2 arti yang berlawanan. Seperti kata mawlā: bisa berarti tuan (سيد)  atau sebaliknya, budak (عبد) atau bisa berarti yang membebaskan (مُعتِق) atau sebaliknya, yang dibebaskan (مُعتَق). Sepertinya hal ini juga berlaku untuk frasa ahl al-Jafā (أهل الجفا) yang mempunyai 2 arti yang berlawanan; makna positif dan makna negatif.

Makna ahl al-Jafā dalam konotasi negatif adalah orang-orang yang tidak merasakan dalam hatinya minuman air jernih dari gelas cinta. Hati mereka menjadi keras dalam gurun yang jauh dan kering. (Mereka bagaikan kayu yang tersandar [QS al-Munafiqun: 4]). Dalam hati mereka tidak terdapat mahabbah. Sebaliknya, hati mereka dipenuhi dengan kemarahan dan kedengkian.

 

وأهل الجفا الذين لم تذق قلوبهم من كؤوس محبته شراباً صافياً قد تيبّست قلوبهم في صحراء البعد والجفا فهم (كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ) ] المنافقون: من الآية4 [.وهم يريدون لكل الأمة أن تكون قلوبهم خالية من المحبة أن تكون قلوبهم كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ) لذلك يمتلئون غيظاً وحسداً (

 

Begitu juga makna al-jafā dalam تحفة الإخوان في قراءة الميعاد في رجب وشعبان ورمضان  mewakili konotasi negatif. Dalam kitab ini dipaparkan bahwa Rajab adalah bulan untuk meninggalkan keburukan, Sha’ban adalah bulan untuk beramal dan memenuhi janji, sedangkan Ramadan adalah bulan untuk melaksanakan kejujuran dan penyucian jiwa. (تحفة الإخوان في قراءة الميعاد في رجب وشعبان ورمضان)

Makna ahl al-Jafā di kalangan para sufi mempunyai konotasi positif. Makna ini tergambar dalam pertanyaan Abu al-Hasan al-Farghani kepada Abu Bakr al-Shibli tentang definisi sufi. “Sufi adalah orang yang menyucikan hatinya, menempuh jalan al-Mustafa [Nabi Muhammad saw] (وسلك طريق المصطفى), membelakangi dunia (ورمي الدنيا خلف القفا), dan mencicipkan kepada hawa nafsunya makanan yang tidak enak (وأذاق الهوى طعم الجفا).  Dalam redaksi yang lain disebutkan (وأطعم الهوى ذوق الجفا) memberi makan hawa nafsu dengan menu [rasa] yang tidak enak. Maksudnya adalah menundukkan hawa nafsu untuk patuh terhadap kehendak Allah. Kehendak Allah itu terasa pahit dan berat bagi hawa nafsu. Hawa nafsu harus diberi beban seperti itu dengan paksa.

Ada yang lebih memilih menggunakan redaksi (وأطعم الهوى ذوق الجفا) ketimbang (وأذاق الهوى طعم الجفا) dengan alasan karena merasakan/mencicipi (أذاق) digunakan untuk sesuatu yang gampang/sedikit. Beda antara memberi makan (أطعم) dan mencicipikan (أذاق). Sehingga kalau menggunakan “mencicipkan” kesannya tidak menyeluruh. Kalau makan banyak bukan mencicip namanya. Oleh karena itu, seyogyanya menjadikan menu yang pahit sebagai makanan dan asupan bagi hawa nafsu agar ia menyelaraskan diri kepada kehendak Allah.

Uraian di atas menjelaskan bahwa ahl al-jafā adalah orang yang memerangi hawa nafsunya (جهاد النفس). Memerangi hawa nafsu disebut oleh Nabi Muhammad saw sebagai jihad terbesar (الجهاد الأكبر).  Ahl al-jafā adalah orang yang menyapih hawa nafsunya (فطام النفس). Bagi ahl al-jafā tidak ada bedanya antara emas dan tanah (تساوى عنده الذهب والمدر). Tidak ada bedanya antara pujian dan cacian (dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang). Tidak ada bedanya antara kaya raya dan miskin papa. Dalam pepatah orang Jawa dikenal sebagai orang yang dijemur tidak kering, direndam tidak basah. Tidak susah ketika kehilangan harta dan tidak gembira ketika mendapatkan harta. Kondisi seperti ini hanya bisa dicapai ketika seseorang telah kenyang makan pahitnya menu kehidupan (أطعم الهوى ذوق الجفا)). Seperti tercantum dalam QS al-Hadid: 22-23.

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah (22).  Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri (23)

Syeikh Abu Hasan al-Shadhili -pendiri tarekat Syadziliyah- adalah tokoh sufi yang sangat kaya raya. Pakaiannya seperti pakaian raja. Rumahnya seperti istana. Kendaraannya berupa kuda yang sangat mahal dan istimewa. Kalau di zaman now mungkin bisa dianalogikan dengan kuda jingkrak alias Lamborghini. Suatu hari, Syeikh Abu Hasan al-Shadhili diprotes oleh muridnya. “Guru, tidakkah sebaiknya kita hidup sederhana” sang murid hanya melihat sisi lahir menggunakan perspektif orang awam. Syeikh Abu Hasan al-Shadhili kemudian memerintahkan muridnya untuk membagi habis hartanya kepada fakir miskin. Habis tak tersisa. Kisah ini adalah protret dari ahl al-jafā, antara kaya dan miskin tidak ada bedanya. Tidak bersedih ketika kehilangan harta dan tidak gembira ketika mendapatkannya. Tidak lama kemudian, banyak orang berbondong-bondong sowan kepada Syeikh Abu Hasan al-Shadhili sambil membawa banyak hadiah. Syeikh Abu Hasan al-Shadhili berkata kepada muridnya: “Lihatlah sendiri, bukan aku yang menginginkan kekayaan ini”. Wallāhu a‘lam

 

Ditulis oleh: Dr. H. Agus Ali Dzawafi, M.Fil.I (Ketua Prodi AFI UIN SMH Banten)