Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Sahkah sholat berjamaah dengan anak yang belum disunat (dikhitan)? Maksudnya, ada seorang imam yang berjamaah dengan seorang anak (makmum) yang belum dikhitan. Terima kasih. [Arfie].
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Apabila yang menjadi imam belum dikhitan (aqlaf), baik belum baligh maupun sudah baligh, maka hukumnya sah tetapi makruh menjadi imam, karena masih ada kemungkinan membawa najis pada kemaluannya yang tidak terjangkau air. Namun, bagi makmum yang sudah dikhitan, tetap mendapatkan fadhilah berjamaah. Berbeda jika imamnya sudah dikhitan dan makmumnya belum (aqlaf), maka hukumnya sah tanpa makruh, karena selama imamnya memiliki sifat kesempurnaan untuk menjadi imam, maka imam tersebut dapat menanggung kekurangan makmum.
Wallahu a’lam. [Subhana Ahmada, Kang Sae Full]
Referensi:
1. Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj dan Hasyiah al-Syarwani wal-‘Abbadi, 2/289:
(قَوْلُهُ: وَتُكْرَهُ إمَامَةُ الْأَقْلَفِ إلَخْ)
لَعَلَّ وَجْهَهُ أَنَّ الْقُلْفَةَ رُبَّمَا مَنَعَتْ وُصُولَ الْمَاءِ إلَى مَا تَحْتَهَا، وَاحْتِمَالُ النَّجَاسَةِ كَافٍ فِي الْكَرَاهَةِ ع ش
“Perkataan: Makruh menjadi imam bagi orang yang belum dikhitan. Kemungkinan sebabnya adalah kulit (kulfa) mungkin menghalangi air mencapai bagian bawahnya, dan kemungkinan terdapat najis sudah cukup menjadi alasan makruh.”
2. Al-Ramli, Syamsuddin, Nihayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, 2/174:
(قَوْلُهُ: وَتُكْرَهُ إمَامَةُ الْأَقْلَفِ)
لَعَلَّ وَجْهَهُ أَنَّ الْقُلْفَةَ رُبَّمَا مَنَعَتْ وُصُولَ الْمَاءِ إلَى مَا تَحْتَهَا، وَاحْتِمَالُ النَّجَاسَةِ كَافٍ فِي الْكَرَاهَةِ
“Perkataan: Makruh menjadi imam bagi orang yang belum dikhitan. Kemungkinan sebabnya adalah kulit (kulfa) mungkin menghalangi air mencapai bagian bawahnya, dan kemungkinan adanya najis sudah cukup menjadi alasan makruh.”
3. Al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj, 1/483:
وَتُكْرَهُ إمَامَةُ الْأَقْلَفِ بَعْدَ بُلُوغِهِ لَا قَبْلَهُ كَمَا قَالَهُ ابْنُ الصَّبَّاغِ
“Makruh menjadi imam bagi orang yang belum dikhitan setelah baligh, tetapi tidak sebelum baligh, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Sabbagh.”