سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang Kami berkahi sekelilingnya, untuk memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kata subahana dibaca nashab (manshub) karena kata kerja yang tidak ditampakkan. Asalnya adalah asbihu allaha subhana (saya bertasbih kepada Allah, Mahasuci.) Kemudian kata subahana menempati posisi kata kerja yang tidak ditampakkan. Menurut kesepakatan para mufasir, yang dimaksud dengan “hamba” dalam kalimat tersebut adalah Nabi Muhammad saw.[1]
Kata “laylan” berbentuk isim nakirah, untuk mengisyaratkan sebentarnya waktu peristiwa isra’ tersebut. Iuga untuk menunjukkan bahwa peristiwa isra’ itu berlangsung dalam sebagian malam karena bentuk nakirah menunjukkan arti ba’dhy (sebagian). Sehingga ada sahabat Rasulullah Saw seperti Hudzaifah bin Yaman membacanya ditambahi kata min sehingga menjadi min al-layli.[2]
Padahal, menurut Syekh Wahbah Zuhaili, sebenarnya, jarak antara Mekah dan Syam (yang mencakup Palestina) ditempuh selama empat puluh malam menggunakan alat transportasi zaman dahulu.[3] Muhammad Ali al-Shabuny dalam tafsirnya “Shafwat al-Tafasir” menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ dan Mi’raj pada pertengahan malam, dan perjalanan tersebut dilakukan dalam keadaan sadar, yaitu beliau tidak tertidur, dengan menggunakan ruh dan jasadnya.[4]
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari mengatakan:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam,’ adalah, untuk menyucikan Tuhan yang menperjalankan hamba-Nya pada malam hari, dan pembersihan bagi-Nya dari ucapan orang-ofang musyrik bahwa Dia memiliki sekutu dari makhluk-Nya, isti dan mak, serta untuk menyatakan ketinggian dan pengagungan bagi’Nya dari berbagai kebodohan dan perkataan keliru yang mereka sandarkan kepada-Nya.[5]
Syekh Wahbah Zuhaili mengatakan:
Aku menyucikan Allah dari segala keburukan. Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya, Muhammad saw, pada sebagian malam dari Masjidil Haram di Mekah al-Mukarramah menuju Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, dan kemudian kembali ke negerinya pada malam itu juga. Aku juga menyucikan Allah dari segala sifat tidak mampu dan kekurangan, serta dari klaim orang-orang musyrik tentang keberadaan sekutu atau anak bagi-Nya. Aku juga menegaskan bahwa Allah memiliki kekuasaan yang sempurna dan luar biasa. Karena Dia Maha Kuasa untuk mewujudkan hal-hal yang lebih luar biasa daripada yang bisa dibayangkan dan dipikirkan manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Dia memperjalankan hamba-Nya pada jarak yang sangat jauh dalam waktu singkat pada sebagian malam saja. Peristiwa isra’ ini bertujuan untuk memuliakan Nabi-Nya, meningkatkan derajatnya, dan mengangkat martabatnya, sebagai bukti keajaiban yang abadi bagi beliau.
Peristiwa isra’ ini terjadi setahun sebelum hijrah ke Madinah, seperti yang dikatakan oleh Muqatil. Al-Harbi mengatakan bahwa peristiwa isra’ terjadi pada malam ke dua puluh tujuh dari bulan Rabi’ul Akhir satu tahun sebelum hijrah. Ibnu Sa’d dalam kitab Thabaqat-nya meriwayatkan bahwa isra’ Rasulullah saw. terjadi delapan belas bulan sebelum beliau hijrah.
Ada dua pendapat mengenai tempat pemberangkatan Rasulullah pada saat Isra’ dan Mi’raj. Pendapat pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa Rasulullah pada saat Isra’ dan Mi’raj berangkat dari rumah Ummu Hani binti Abi Thalib. Pendapat kedua, bahwa Rasulullah berangkat dari Masjid al-Haram, yakni kawasan sekitar Ka’bah. Pendapat terakhir ini mendapatkan dukungan lebih kuat di kalangan ulama. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa Rasulullah keluar pada malam tersebut dari rumah Ummu Hani menuju Masjid al-Haram dan memulai perjalanan Isra’ dan Mi’raj dari Masjid tersebut.
Imam al-Thabari menjelaskan sebagian ahli takwil mengatakan bahwa Rasulullah SAW di-isra’- kan dari masjid. Ketika beliau di-isra’-kan, beliau berada di masjid hal ini merujuk kepada hadts yang diriwayatkan Anas bin Malik.[6] Begitu pun dengan pendapat Syekh Wahbah Zuhaili yang mengatakan bahwa tempat keberangkatan dalam peristiwa isra’ adalah Masjidil Haram, sesuai dengan makna yang dijelaskan dalam ayat, dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda “Ketika saya sedang berada di Hijir Ismail di dalam Masjidil Haram dan di sisi Baitullah (Ka’bah), dan ketika itu saya dalam kondisi antara sadar dan tidak, tiba-tiba Jibril datang membawa Buraq.”
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Masjidil Haram adalah Tanah Haram karena Tanah Haram juga mencakup masjid, dan semua Tanah Haram adalah masjid. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas. Ketika isra’, Rasulullah saw. diberangkatkan dari rumah Ummu Hani binti Abi Thalib, pada tahun 621M.[7]
Masjidil Aqsha adalah Baitul Maqdis. Pendapat ini disepakati oleh para ulama. Dinamakan al-Aqsha karena jaraknya yang jauh dari Masjidil Haram. Ketika itu, Masjidil Aqsha merupakan masjid yang diagungkan, menjadi tempat tujuan ziarah terjauh bagi penduduk Mekah.[8]
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa Rasulullah saw. di-isra’kan dengan jasad (tubuh) beliau serta dalam keadaan terjaga (tidak tidur), dengan alasan-alasan berikut:[9]
(a) Kata “abd” (hamba) menunjukkan bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh dianggap sebagai mayat, sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat disebut sebagai hamba atau manusia. Jika Isra’ dan Mi’raj dilakukan hanya dengan ruh, seharusnya dalam QS. Al-Isra’ (17): 1 akan digunakan frasa “bi ruhi ‘abdihi” (dengan ruh hambanya).
(b) Dalam QS. Al-Najm (53): 11 disebutkan bahwa penglihatan Nabi Muhammad SAW tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak melampauinya, menunjukkan bahwa Nabi melihat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah Swt dengan sepenuh kesadarannya. Hal ini menegaskan bahwa penglihatannya tidak mungkin keliru.
(c) Jika Isra’ dan Mi’raj dilakukan hanya dengan ruh atau sebagai mimpi belaka, tidak akan timbul reaksi yang hebat dari orang-orang kafir Quraisy serta kemurtadan beberapa orang Muslim yang lemah imannya setelah Nabi menyampaikan peristiwa tersebut. Ini karena semua orang pernah atau sering mengalami mimpi yang luar biasa, namun mimpi tersebut tidak pernah dipercayai oleh akal manusia dan tidak pernah dibohongkan orang.
Dalam sebuah pendapat lemah dikatakan bahwa yang di-isra’kan adalah ruh beliau saja Pendapat ini diriwayatkan dari Hudzaifah, Aisyah, al-Hasan, dan Mu’awiyah. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ketika ditanya tentang Isra’ dan Mi’raj Rasulullah, selalu menyatakan bahwa itu adalah mimpi dari Allah, dan mimpi dari Allah adalah benar adanya. Pendapat ini menegaskan bahwa peristiwa tersebut merupakan pengalaman spiritual yang diberikan oleh Allah.
Sebagian keluarga Abu Bakar menyatakan bahwa Aisyah, yang merupakan salah satu keluarga Abu Bakar, tidak melihat Rasulullah pergi atau menghilang pada malam itu. Mereka berpendapat bahwa hanya ruhnya yang diperjalankan, tanpa jasadnya. Namun, pendapat ini dikritik dan dianggap lemah karena saat peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, Aisyah masih kecil dan belum menjadi istri Rasulullah SAW.
Al-Hasan berpendapat bahwa firman Allah “Dan tidaklah Kami menjadikan penglihatan yang kami perlihatkan kepada Kamu sekalian kecuali fitnah bagi manusia” (QS. Al-Isra’ [17]: 60) merujuk pada penglihatan saat tidur, karena kata “ru’ya” (penglihatan) sering diartikan sebagai mimpi, yang umumnya dialami saat seseorang tidur. Namun, pendapat ini juga dikritik dan dianggap lemah karena kurangnya dukungan dalam konteks teks dan konteks historis.
Pendapat Mu’awiyah bin Abi Sufyan ditolak karena pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj dia belum memeluk agama Islam. Adapun pendapat tentang Aisyah tidak diterima karena pada saat itu dia masih kecil dan belum menjadi istri Rasulullah SAW.
Pendapat yang lebih benar, menurut Syekh Wahbah Zuhaili, adalah pendapat pertama, yaitu bahwa Rasulullah saw. di-isra’kan dengan ruh dan jasad dari Mekah ke Baitul Maqdis. Dalilnya, kata “hamba” di dalam firman Allah adalah nama untuk jasad dan ruh. Di samping itu, hadits riwayat Anas bin Malik merupakan hadits masyhur yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab shahih tentang mi’raj dan isra’ menunjukkan kepergian Rasulullah dari Mekah ke Baitul Maqdis, kemudian dari Baitul Maqdis ke langit-langit yang tinggi (Sidratul Muntaha).[10]
Namun ada pendapat yang cukup menarik menurut saya sebagaiman dijelaskan oleh Syekh Thanthawi yang tidak membuat perbedaan antara aspek jasmani dan rohani dalam hal ini. Dia menggunakan dua istilah, yaitu jasad lahiriah dan jasad barzakhi (ruh), seperti yang diungkapkannya:
Kalau kita katakan bahwa Isra’ dan Mi’raj itu dengan jasad barzakhy maka pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal ini akan mengerucut menjadi satu. Jika Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra’ Mi’raj-kan dengan ruhnya saja, kita katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah jasadiyah (lahiriyah) secara mutlak. Dan jika selain beliau berkata bahwa nabi di-Isra’ Mi’raj-kan dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda benar, karena menurut ahli ruh tidak ada perbedaan antara jasad barzakhyah dan jasad lahiriyyah, karena jasad barzakhyah adalah jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah. Maka barangsiapa berkata bahwa nabi Isra’ dengan ruhnya saja berarti dia mendekati hakekat kebenaran, dan barangsiapa berkata bahwa nabi Isra’ dengan jasadnya maka dia juga mendekati hakekat kebenaran, karena ini (ruh) adalah kondisi pertengahan yang mana kecepatanya seperti kecepatan mimpi, dan gambarannya menyerupahi gambaran jasad lahiriyah, ia akan terbang lebih cepat dari pada kilat bahkan kecepatanya seperti kecepatan lintasan pikiran, bukankah anda melihat bahwa seseorang dalam kamarnya berada di timur dengan lintasan pikirannya kemudian berpindah ke barat lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti keadaan yang biasa terjadi di alam ruh sana.[11]
Kendati berbeda pemahaman, kedua pihak tetap sama-sama memandang bahwa pengalaman Isra dan Mi’raj itu sebagai pengalaman luar biasa, yang merupakan anugerah dari Tuhan dan sekaligus untuk menunjukkan keluarbiasaan kualitas rohaniah yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, Allah SWT menyebut Masjidil Aqsha sebagai masjid yang sekelilingnya diberkahi. Berkah di sini meliputi keberkahan agama dan duniawi. Keberkahan agamanya adalah karena ia merupakan tempat turunnya para nabi. Adapun keberkahan dunianya karena ia meliputi kebaikan dunia, di dalamnya terdapat sungai-sungai, pepohonan, dan buah-buahan yang menjadi sebab bagi terpenuhinya kebutuhan hidup dan bahan-bahan pokok.
Kalimat الذي باركنا حوله, Syekh Wahbah Zuhaili memahami keberkahan di sini berarti berkah agama dan dunia, karena Masjid al-Aqsha adalah tempat turunnya wahyu dan tempat ibadah para nabi sejak zaman nabi Musa. Tempat ini juga dikelilingi oleh sungai-sungai, pohon-pohon, dan buah-buahan.[12] Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, makna hawlahu mengacu pada lingkungan sekitar Masjidil Aqsha. Makna “sekelilingnya” mencakup bagian luar masjid, yang ditandai dengan keberadaan pepohonan yang berbuah dan sungai-sungai yang mengalir. Sementara bagian dalamnya menyiratkan keberkahan dalam agama, yang ditunjukkan dengan pahala shalat yang dilipatgandakan bagi orang yang melaksanakan shalat di dalamnya. Sebab pahala shalat di tempat tersebut berlipat hingga 500 kali lipat.[13]
Kalimat لنريه من آياتنا , Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskannya dengan menuliskan:
Untuk Kami Perlihatkan keajaiban-keajaiban kekuasaan Kami, seperti jarak yang seharusnya ditempuh satu bulan hanya ditempuh sebentar saja oleh Nabi saw. di malam hari. Juga kekuasaan-Nya yang membuat beliau dapat menyaksikan Baitul Maqdis, ditampakkannya para nabi kepada beliau, serta berdirinya beliau di posisi yang sederajat dengan mereka. [14]
Imam Al-Razi memberikan penafsiran yang lebih rinci terhadap potongan tersebut dengan merujuk kepada ayat lain dalam Al-Qur’an, yaitu QS. al-An’am ayat 75. Dalam ayat tersebut, Allah menyatakan bagaimana Dia telah menunjukkan kepada Ibrahim (Nabi Abraham) kerajaan langit dan bumi.[15]
Dengan merujuk pada ayat ini, Imam Al-Razi menjelaskan bahwa ungkapan “Li nuriyahu Min Ayatina” menunjukkan kepada cara Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi Muhammad, yang sebanding dengan cara Dia memperlihatkan sebagian tanda kebesaran-Nya kepada Nabi Ibrahim. Dengan kata lain, seperti cara Allah menunjukkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, begitu pula Dia memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi Muhammad.
Sementara, Syekh Thanthawi menafsirkan potongan ayat tersebut dengan merujuk pada QS. Fushilat ayat 53, yaitu ayat yang menyatakan: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru alam, dan pada diri mereka sendiri.”[16]
Dengan merujuk pada ayat ini, Syekh Thanthawi menginterpretasikan bahwa ungkapan “Li nuriyahu Min Ayatina” menunjukkan kepada cara Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada manusia, baik yang terlihat di alam semesta maupun yang tersemat dalam diri manusia sendiri. Dalam konteks Al-Isra ayat 1, ungkapan tersebut mengindikasikan bahwa Allah akan memperlihatkan kepada Nabi Muhammad sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya, baik yang tampak di alam semesta maupun yang terinternalisasi dalam diri manusia.
Tujuan dari peristiwa isra’ ini adalah untuk memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan bukti-bukti agung tentang wujud-Nya, keesaan-Nya, dan kekuasaan-Nya. Sehingga faedah dari isra’ adalah khusus untuk Allah SWT dan kembali kepada Allah saja.[17]
Syekh Abu Bakar al-Jazairi menilai surat al-isra ayat 1 ini memiliki beberapa penegasan, seperti Penegasan tentang keyakinan pada Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. dengan jasad dan ruh beliau secara bersamaan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian naik menuju langit yang tinggi sampai pada suatu tingkatan di mana beliau mendengar suara goresan pena. Lalu Allah Ta’ala memberikan wahyu kepada beliau dan diwajibkan baginya shalat fardhu yang lima waktu. Kemudian tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Dua masjid yaitu Al-Haram dan Al-Aqsha telah disebutkan dalam nash tersendiri, adapun masjid Rasulullah saw telah disebutkan dengan isyarat yang mengarah kesana. Karena perkataan al-aqsha adalah mengharuskan al-qashiy, sedangkan al-qashiy adalah Masjid Nabawi dan al-aqsha adalah Baitul Maqdis. Selain itu, menjelaskan hikmah Isra’ Mi’raj, yaitu bahwa Rasulullah melihat dengan mata kepalanya sendiri dari apa yang telah beliau imani dan ketahui melalui wahyu. Sehingga apa yang tidak pernah beliau lihat sebelumnya, beliau dapat melihatnya ketika Isra’ dan Mi’raj tersebut.[18]
Tidak ada keanehan dalam semua peristiwa tersebut karena Allah Maha mendengar terhadap semua perkataan dan Maha melihat semua jiwa. Dia meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai hikmah dan sesuai dengan kebenaran dan keadilan. Dia mendengar perkataan, komentar, dan ejekan orang-orang musyrik terhadap peristiwa isra’, serta cemoohan mereka ketika beliau di-isra’kan dari Mekah ke al-Quds. Dia juga melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dan tipu daya mereka terhadap Nabi saw. dan risalahnya.[19]
Ada hal yang menarik mengenai substansi pokok isi penafsiran surat al-isra ayat 1 ini, semisal Imam al-Razi yang memberikan porsi besar penafsirannya dengan menggunakan pendekatan fisika dan kosmologi untuk menjelaskan secara rasional peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Al-Razi membagi perbedaan pendapat mengenai bentuk perjalanan Nabi Muhammad SAW menjadi dua aspek utama: pertama, mengenai apakah perjalanan itu masuk akal atau tidak, dan kedua, mengenai realitas dari peristiwa tersebut..
Pada poin pertama, yakni konfirmasi kebolehan akal, al-Razi mengatakan:
“Bahwa planet tersebut (bumi) bergerak dari permulaan sampai akhir malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus geometri (ilmu ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara satu diameter (garis tengah suatu lingkaran) dengan satu lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu berbanding tiga satu pertuju). Maka perbandingan jari-jari (setengah diameter) dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran ketikan Rasulullah SAW Isra’ dari Makkah hingga Mi’raj ke ‘Arsy di atas planet ini (bumi) adalah bahwa beliau bergerak hanya setengah diameter (satu jari-jari). Ketika gerakan setengah lingkaran dapat di tempuh dalam ukuran waktu tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter (satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh dalam ukuran waktu yang sama.”[20]
Selain itu, Imam Al-Razi mengemukakan bahwa ada kemungkinan besar bagi jasad Nabi untuk mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan kecepatan yang tinggi. Dia menyatakan,
“Berdasarkan prinsip geometri, lingkaran matahari setara dengan 160 kali diameter bumi. Dari sini kita bisa melihat bahwa terbitnya matahari bergerak dengan cepat. Hal ini menandakan bahwa gerakan cepat yang mencapai batas tertentu, seperti yang disebutkan, adalah sesuatu yang mungkin terjadi.”[21]
[1] Tafsir al-Munir Jilid 8, h. 8
[2] Ibnu Athiyyah, al-Murrar al-Wajiz, Jilid , h. 435
[3] Tafsir al-Munir, h. 38
[4] Safwat al-Tafâsir, jilid II, h. 151.
[5] Tafsir Thabari, Jilid 16, h. 406
[6] Tafsir al-Thabari, jilid 16, h. 409
[7] Tafsir al-Munir, h. 38
[8] Tafsir al-Munir, h. 38
[9] Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4, h. 67.
[10] Tafsir al-Munir, h. 38
[11] Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 14
[12] Tafsir al-Munir, h. 36
[13] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, jilid 4, hlm. 293.
[14] Tafsir al-Munir, h. 36
[15] al-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 9, h. 494.
[16] Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 14
[17] Tafsir al-Munir, h. 39
[18] Al-Jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, jilid 4, hlm. 293.
[19] Tafsir al-Munir, h. 39
[20] al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.
[21] al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.